KARYA AGUS MUBAROK
“Tulisan ini ditulis saat hujan turun seakan membawa ingatan juga perihal dimasa lalu ketika aku merasa kesakitan karena terlalu berharap kepada manusia.”
“Air jatuh kebumi dengan kecepatan rendah karena titik hujan memiliki bentuk khusus yang meningkatkan efek gesekan atmosfer dan membantu hujan turun lebih rendah. Andaikan bentuk hujan berbeda, atau andaikan atmosfer tidak memiliki efek gesekan. Bayangkan jika hujan turun seperti gelembung air besar, bumi akan menghadapi kehancuran setiap hujan turun.”
Aku sedikit tercengang pada paragraf yang baru saja ku baca dari sebuah artikel koran pagi tadi. Sebuah fakta hujan, aku tersenyum sekaligus kecut membayangkan apabila hujan turun seperti gelembung air besar. Butiran kecil saja sudah membuat banjir dimana-mana, apalagi seperti gelembung? Bersyukur, kecepatan hujan rendah karena terjadi gesekan atmosfer. Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan hebat, maka dengan itu pula dapat dikatakan sempurna. Namun semua yang hebat bisa dikatakan sempurna? Lantas bisakah orang yang pandai berdusta dikatakn hebat dalam dustanya, dan orang yang sukses bersandiwara dikatakan sempurna dalam sandiwaranya? Hah.. lagi-lagi aku teringat sebuah kehidupan yang mengharuskan ku berjuang mati-matian. Dadaku seolah terhimpit, nafaspun juga mendesak sempit. Seolah terbayang kisahku dimasa lalu.
Dunia memang tak selalu seperti yang diharapkan namun kenyataanlah yang harus dijalani. Pun dengan kehidupanku dulu, tak seorangpun menginginkan hidup susah dan cenderung papah. Aku bagai tersesat dihamparan gurun pasir yang tak terkira luasnya. Perjuangan pun diperlukan untuk mencari jalan keluar menuju perbaikan. Banyak sekali perjuangan yang harus aku lakukan, seolah membawaku pada dunia mimpi yang penuh asa dan tak nyata. Mimpi-mimpi yang ku bangun dengan syarat penderitaan, nyata di terpa cacian dan hinaan yang harus ku telan sepahit dan seburuk apapun rasanya.
Suatu hari aku bertemu dengan seseorang yang aku anggap segalanya. Saat itu aku tengah mulai menggantungkan mimpiku pada tiang langit. Berharap bahwa hidupku akan baik-baik saja. Namun angin kejam malah menjatuhkan mimpiku tanpa ampun, koyak, hancur lebur tak tersisa.
“Kemana gerangan angin membawa mimpiku?” Teriakku pada sebuah pohon yang jadi sandaranku.
Tak lama setelah aku teriak, tiba-tiba.
“Angin itu membawaku untuk mewujudkan mimpimu.” Sontak aku terkejut ketika mendengar balasan suara dari arah belakang.
“Kenapa diam? Kamu ragu?” Dia menatapku sembari melemparkan senyumnya yang lengkung.
“Tentu aku ragu! aneh saja kamu tiba-tiba datang untuk mewujudkan mimpiku”
“Percayalah aku datang untukmu, kita sama-sama berjuang menggantungkan mimpi kita.”
“benarkah?”
“Yakinlah!”
Ku ceritakan segala bentuk penat dan lukaku padanya yang biasa ku sebut my everything. Seolah tiada yang mampu ku banggakan selain DIA,DIA, dan DIA. Aku mulai menulis mimpi-mimpi denganya, kemudian kami menggantungnya pada tiang langit mengenakan tali kesabaran. Dia meyakinkanku selalu untuk tetap sabar terhadap mimpi-mimpi kami. Lama-kelamaan aku mulai nyaman denganya, dan munculah benih-benih harapan padanya. Akan tetapi, aku melihat mimpi yang ku gantungkan berada dibawah tiang langit. Ada apakah gerangan? Apa angin terlalu kencang hingga melepas tali kesabaran itu. Tapi tunggu dulu, kenapa hanya mimpiku yang jatuh sedangkan mimpi my everyting berada satu tingkat lebih tinggi. Badanku seolah mati rasa, hingga tak lama kutemukan gulungan kertas lusuh dari my everything dengan beberapa kalimat yang bertuliskan “Maaf, aku harus pergi. Aku muak, denganmu mimpiku enggan terwujud. Entah aku kurang sabar, entah kamu memang lamban, atau mungkin nasib buruk selalu menimpamu.”
Aku tertegun, bagaimana bisa? Oh.. Kemana ku bawa hatiku yang sakit ini. Hati yang penuh kekecewaan karena penghianatan. Dimana letak balasan untukku yang mengganggap dia segalanya? Adakah yang lebih menyakitkan dari ini? Harus ku apakan mimpi-mimpiku? Kuputuskan untuk membawa serpihan mimpi-mimpiku dengan luka yang menganga dan tidak lagi untuk berharap dengan siapapun terlebih manusia. Karena setiap kali aku berharap, maka hasil yang kudapat adalah nothing, zero, NOL besar.
Aku sudah merasa kelelahan akan dunia yang penuh penghianatan. Dengan tubuh layu tak terurus aku termenung menatap derasnya air pada sebuah jembatan kakiku setengah menapak pada jembatan, bisa jadi angin kencang mampu mendorongku ke bawah. Aku kosong, pikiranku gelap, hanya mendengar suara kerasnya gemuruh air. tiba tiba terdengar suara dari kejauhan.
“Mbak! Jangan!” suara itu sontak membangunkan lamunanku.
“Mbak jangan Mbak..” suaranya makin tergesa-gesa.
“Jangan karena urusan dunia Mbak mengakhiri hidup.” Dia terus mengoceh
“Diam..!” Teriak ku
Layaknya binatang peliharaan dia menuruti mau ku untuk diam. Namun tiba tiba dia menarik tanganku. Kami pun terjatuh menghantam aspal.
“Aku sudah bilang jangan mbak. Semua masalah akan ada jalan keluarnya.” Teriak dia diringi nafas-nafas pendek.
“Untuk apa hidup?”
“Ada apa, barangkali aku bisa membantu?”
“Kamu takkan bisa membantu, ini semua nasibku. Aku tak bisa bahagia. Hidupku sial, hanya penderitaan yang terus menimpaku.”
“Mbak lihat saya.” Aku pun melihatnya dan tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di wajahku.
“Kenapa kamu menamparku? Apa ini caramu membantu bodoh..”Teriakku kesal diringi tangisan tipis berjatuhan diwajahku.
“Apa ini yang kamu mau?” Dia memeluk ku. Bibirku pun terasa kaku, tak terucap sepatah katapun.
“Inilah hidup, terkadang kamu harus merasakan kesakitan sebelum mendapat kebahagiaan. Hidup ini adil, setelah kamu berjuang akan ada hasil yang kamu dapatkan. Baikkah? Burukkah? Semua tergantung bagaimana kamu berjuang. Aku yakin kamu orang baik, kamu hanya perlu berjalan bukan berlari. Cobalah untuk menata kembali apa yang ingin dan kamu capai. Mulailah dengan hal yang terkecil. Terkadang hal kecil lah yang akan membawamu untuk besar. Ubahlah hidupmu dari penderitaan menuju kebahagiaan. Bangunlah sayang kemenangan ada ditangan.”
Waktupun tak terasa terlewati, setelah menjalani jalan hidup yang penuh lika-liku kehidupan kini bahagia adanya. Aku dan dia memutuskan untuk merubah segalanya. Tidak ada lagi my everything yang ada hanya dia yang menjadi imamku saat ini, yang aku selalu sebut dalam setiap do’a yang ku panjatkan pada-Nya.
Meskipun aku sudah merasa bahagia, namun rintangan akan selalu menunggu di level selanjutnya. Hidup ini pilihan, pada akhirnya mengharuskanku memilih. Tetap bermimpi atau tidak? Jawabanya ada di hati.
-Selesai-